Harus Ada Pelajaran yang Dipetik Dari
Kegagalan Sultra di PON Aceh-Sumut
Kegagalan kontingen Sulawesi Tenggara mencapai target medali pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh-Sumut masih menyisakan tanya. Apa penyebab sehingga Sultra gagal mencapai target 5 medali emas seperti yang dicanangkan KONI. Selain gagal mencapai target 5 medali emas, rangking Sultra di klasemen akhir juga sangat buruk karena berada di posisi ke-34 dari 38 provinsi peserta PON XXI.
Faktor penyebab ini sangat penting artinya agar menjadi pelajaran demi mencari solusi perbaikan di masa depan. Sayangnya, hingga hampir sebulan usai pagelaran PON XXI, pihak KONI belum menyampaikan kepada publik tentang apa yang jadi penyebab kegagalan ini. Sembari kita menunggu hasil evaluasi yang dilakukan KONI Sultra, ada beberapa catatan yang menurut penulis jadi biang kegagalan tersebut.
Pertama, kotingen dengan jumlah dan kekuatan besar yaitu 130 atlet dan 28-29 cabang olahraga, ternyata tidak berbanding dengan lurus dengan capaian medali dan prestasi. Dan faktor ini nampaknya yang menjadi pokok dari masalah yang dihadapi.
Keputusan memberangkatkan rombongan besar ini juga menjadi ironis di tengah anggaran yang disiapkan pemerintah yang diklaim minim yaitu hanya Rp 11 milyar. Bahkan jumlah itu, harus dibagi dua lagi antara dana untuk kontingen sebesar Rp 7,5 milyar dan sisanya untuk operasional KONI.
Akibatnya, sejumlah tahapan penting yang harusnya diprogramkan dan dijalankan untuk meraih prestasi pada ajang PON XXI diabaikan. Yah, semisal Pemusatan latihan (TC) yang hanya dijatah 20 hari, kemudian try-out yang seharunsya juga dijalankan serta pengadaan peralatan seadanya bahkan beberapa cabang mengaku tidak ada peralatan.
Rombongan besar ini juga menunjukkan tidak adanya skala prioritas dari KONI Sultra tentang cabang yang jadi andalan untuk meraih medali. Padahal di tengah anggaran yang katanya minim, harusnya ada skala prioritas tentang cabang yang berpeluang meraih medali. Tidak dengan memaksakan diri untuk berangkat dengan rombongan besar.
Kedua, persiapan yang tidak maksimal. Tanpa TC (hanya 20 hari, itupun tidak terpusat), tanpa try-out dan tanpa peralatan, hasil apa yang diharapkan. Softball puteri yang TC di Surabaya beberapa bulan mampu menunjukkan hasil dengan meraih satu-satunya medali emas untuk Sultra. Cabang Tinju yang TC di Jakarta beberapa bulan juga mampu meraih perunggu. Hapkido yang TC mandiri beberapa bulan juga mampu menyumbang medali. Serta beberapa cabor lain seperti kempo dan taekwondo. Bagaimana dengan cabor lain yang tidak TC?
Termasuk juga tidak adanya try-out. Padahal ini penting untuk memberi pengalaman bertanding dan jam terbang bagi atlet serta mengukur kemajuan yang dicapai dari latihan yang dilakukan selama ini. Apalagi dukungan peralatan yang tidak maksimal.
Hal ini harusnya jadi bahan evaluasi bagi seluruh stakeholder olahraga di Sultra. Sangat kita sayangkan jika hasil dari PON Aceh-Sumut tidak ada yang dipetik sebagai pelajaran hanya karena arogansi kita sendiri. Pahit memang melihat hasil yang ada, tetapi semoga ini menjadi yang terakhir bagi Sultra. Kita berharap ke depannya teman-teman di KONI Sultra melakukan perbaikan. Tentu dengan melihat hasil evaluasi yang dilakukan. Yang sulit, jika mereka enggan melakukan evaluasi dan menganggap kegagalan ini sebagai hal wajar.
Tidak bijak rasanya kalau kegagalan ditimpakan hanya kepada KONI Sultra semata. Termasuk juga peran pemerintah provinsi Sultra yang memberi anggaran kepada pembinaan olahraga. Bayangkan 130 atlet yang berlaga membela kehormatan Sultra di pentas PON diberi jatah Rp 7,5 milyar. Bandingkan dengan harga 4 pintu gerbang Toronipa sebesar Rp 32 milyar (artinya satu pintu gerbang dijatah Rp 8 milyar). Atau bandingkan pula dengan biaya Paskibraka tahun 2024 yang konon juga lebih besar dibandingkan dana untuk PON.
Termasuk pula para pembina cabang olahraga yang harusnya benar-benar mampu untuk meningkatkan prestasi cabang olahraga yang dibinanya. Tidak hanya ada ketika menjelang PON dan Porprov, tetapi hilang setelahnya. Sangat miris jika seorang ketua Pengprov Cabor sekedar mengirim atlet ke Kejurnas atau Pra-PON tidak mampu. Padahal, kalian ditunjuk sebagai Ketua Pengprov karena dinilai punya kapasitas untuk meningkatkan prestasi Cabor yang dipmpin.
Namun apapun itu, yang pasti kegagalan di PON Aceh-Sumut ini harus memberi pelajaran kepada kita semua pecinta olahraga Sultra demi perbaikan ke depan. Wassalam. (hasanuddin)






