Tuntutan dan Vonis Bebas Guru Supriyani,
Harus Jadi Pembelajaran Bagi Pihak Kejaksaan
Tepat di peringatan Hari Guru Nasional (HGN) Supriyani S.Pd, seorang guru honorer mendapatkan kado istimewa berupa vonis bebas dari kasus yang sempat melilitnya beberapa bulan belakangan. Pengadilan Negeri (PN) Konawe Selatan menjatuhkan vonis bebas, sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut bebas Supriyani.
Dalam pembacaan putusan, majelis hakim menyatakan bahwa alat bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak cukup untuk membuktikan bahwa Ibu Supriyani bersalah.
Putusan bebas ini tentu disambut penuh rasa syukur oleh Ibu Supriyani dan kuasa hukumnya. Karena Supriyani telah diberikan keadilan dengan putusan vonis bebas. Dalam artian kalau bebas, berarti Bu Supriyani tidak terbukti melakukan kekerasan seperti dakwaan JPU.
Tuntutan dan vonis bebas terhadap guru honorer Supriyani juga ditanggapi praktisi hukum Nasruddin SH.,MH. Menurut dia, kasus ini tidak perlu sampai ke pengadilan jika pihak Jaksa teliti sejak awal menangani kasus ini.
‘’Dimulai dari proses P-21. Dimana jaksa telah melihat barang bukti dan tersangka, menyatakan lengkap serta siap dilimpahkan ke pengadilan. Dengan dilimpahkan ke pengadilan, konsekwensinya kejaksaan harus bisa membuktikan dalil-dalil dakwaannya. Tetapi faktanya mereka tidak dapat membuktikan dakwaannya sendiri, bahkan malah menuntut bebas terdakwa,’’ kata Nasruddin.
‘’Seharusnya pada berkas perkara tahap kedua, Jaksa Penuntut Umum tidak perlu melakukan penahanan. Karena pihak penyidik juga tidak melakukan penahanan. Tetapi JPU malah menahan lalu melimpahkan ke pengadilan. Disinilah menjadi bola panas. Sehingga ketika pengadilan menangguhkan, kesannya jaksa yang mengeluarkan,’’ kata Nasruddin.
Ditambahkan, ada kesan pihak JPU tidak sungguh-sungguh membuktikan dakwaannya. Seharusnya pihak JPU juga mengajukan saksi ahli dalam hal ini dokter yang membuat visum. Karena disitulah pokok perkaranya mengenai akibat pemukulan kalau betul dipukul.
Menurut Nasruddin, kasus ini harus jadi pelajaran bagi pihak kejaksaan agar ke depan tidak lagi terulang dan lebih berhati-hati dalam menganalisa perkara. Karena akibatnya sangat merugikan, baik kepada korban maupun kepada terdakwa. Kasus ini mendapat perhatian secara nasional dan sangat menguras energi serta emosi.
Memperhatikan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Andoolo, ditemukan fakta hukum bahwa hanya keterangan anak sebagai korban dan saksi dipandang sebagai satu alat bukti yang harusnya pada tahap pembuktian Penuntut Umum mengajukan lagi bukti-bukti lain agar terpenuhi syarat sahnya bukti dalam perkara pidana agar bukti-bukti lainnya saling bersesuaian satu dengan lainnya.
‘’Kalau ternyata dalam persidangan hanya 1 (satu) alat bukti yang mampu dibuktikan oleh Penuntut Umum, berarti Penuntut Umum tidak serius menangani perkara tersebut, saya melihat penyidik sudah melaksanakan tugasnya/kewajiban selaku penyidik pada tahap penyidikan hanya saja Penuntut Umum yang lalai melaksakan kewajibannya membuktikan dalil-dalil pada dakwaan di persidangan,’’ tegas Nasruddin.
‘’Karena tuntuan dan putusannya bebas, Saya kira kasus ini sudah selesai, tidak ada lagi upaya hukum. Sekali lagi harus diambil pelajaran khususnya kepada pihak Kejaksaan agar ke depannya lebih berhati-hati dalam menetapkan dan melimpahkan sebuah perkara,’’ kata Nasruddin.(has)






